Rabu, 23 Juli 2008

Yang tuaaaaa, minggir!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

"No way"

Itulah cetusan tegas dari Presiden Partai keadilan Sejahtera dalam Mukernas PKS di Makassar, sebagai tanggapan atas keinginan tokoh-tokoh gaek untuk tampil sebagai pemimpin tertinggi RI-1. Tanggapan ini, menjadi bola panas ketika tokoh (yang merasa disebut oleh Tifatul) justru menantang balik Tifatul.

Lalu bagaimana konstitusi negara kita mengatur masalah ini?

Setahu saya, pengaturan usia hanya dilihat nilai minimalnya, yaityu 35 tahun, sedangkan nilai maksimalnya tidak ada. 

lalu bagaimana Islam memandang usia sebagai patokan memimpin?

Jika kita qiyaskan pemimpin sebagai imam sholat, maka Islam telah meletakkan dasar-dasar dalam pemilihan Imam.

1. Harus yang lebih banyak hapalannya. Jika terdapat lebih dari satu, maka ....
2. Yang lebih banyak mengerti sunnah, jika sama maka ....
3. Yang lebih dulu berhijrah, jika sama maka .....
4. Yang lebih tua.

Jadi, dalam konteks yang disesuaikan, sebenarnya Islam lebih memandang ILMU seseorang sebagai batas bawah kepantasan seseorang memimpin. Usia, sama sekali tidak menjadi halangan seseorang menjadi pemimpin. Justru, Islam memberikan tempat yang longgar bagi para pemuda untuk menjadi pemimpin.

Usamah ibn Zaid, menjadi pemimpin penaklukan Romawi ketika berusia 18 tahun. Ini satu bukti bahwa kepemimpinan dalam Islam, tidak bergantung pada usia semata.

So? Bagaimana donk? Ya sudahlah...kita biarkan sistem demokrasi kita memilih mana yang terbaik. Karena faktor ILMU menjadi yang utama, maka sebagai muslim seharusnya kita bisa mencerna, siapa di antara tokoh-tokoh kita yang lebih BERILMU dibandingkan yang lainnya. 

Muda belum tentu menjadi pos harapan kita akan perubahan, jika ilmu tidak mencukupi.

Tua juga belum tentu membawa keburukan, kecuali mereka memimpin tanpa visi dan misi.

2 komentar:

Kusman mengatakan...

yg bagus, yg muda dan berilmu

Rawins mengatakan...

Tetap aja buntut-buntutnya urusan perut.
Hmmmm....